Jakarta – Di tengah keramaian Jakarta Pusat, tepatnya di kawasan Medan Merdeka Barat, muncul sebuah insiden yang mencuri perhatian publik. Empat individu yang bertugas sebagai juru parkir telah ditangkap akibat praktik pemungutan biaya parkir yang tidak wajar. Dengan tarif sebesar Rp 20 ribu untuk setiap kendaraan, mereka memaksa masyarakat untuk membayar tanpa memberikan opsi yang wajar.
Para pelaku terdiri dari T (45), F (52), I (41), dan H (51), dan penangkapan mereka dilakukan oleh Unit Resmob Polres Metro Jakarta Pusat pada Sabtu, 10 Mei 2025. Aksi mereka terkuak setelah seorang warga bernama IF melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwajib. Dalam pengakuannya, IF menyatakan bahwa dia ditawari tarif parkir yang jauh lebih rendah, yakni Rp 5.000, namun hal itu ditolak oleh para pelaku.
“Para pelaku dengan tegas memaksa setiap pengendara untuk membayar Rp 20.000, dan kondisi fisik mereka yang berbadan kekar membuat korban merasa tertekan dan tidak berdaya,” jelas AKBP Muhammad Firdaus, Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Pusat, dalam pernyataan tertulisnya pada Minggu, 11 Mei 2025.
Pelaku T diketahui berperan sebagai koordinator lapangan, bertanggung jawab atas setoran yang diperoleh. Tiga pelaku lainnya bertugas mengumpulkan uang dari para pengendara yang memarkirkan kendaraan mereka di lokasi tersebut. Dari penangkapan tersebut, polisi berhasil mengamankan barang bukti berupa uang tunai senilai Rp 660.000 beserta kartu anggota organisasi masyarakat milik salah satu pelaku.
Kapolres Metro Jakarta Pusat, Kombes Susatyo Purnomo Condro, menegaskan bahwa ketegasan akan diambil terhadap segala bentuk premanisme yang merugikan masyarakat, termasuk mereka yang menggunakan organisasi sebagai tameng untuk melakukan tindakan yang tidak terpuji.
“Kami tidak akan ragu dalam mengambil tindakan tegas terhadap praktik-praktik premanisme yang meresahkan. Tiada toleransi untuk intimidasi warga di balik dalih pemungutan biaya parkir. Negara tetap harus berdiri tegak melindungi warganya,” tambah Susatyo.
Keempat pelaku tersebut kini dihadapkan pada Pasal 368 KUHP yang mengatur tentang pemerasan, dengan ancaman hukuman maksimal sembilan tahun penjara. Kasus ini mencerminkan betapa pentingnya penegakan hukum yang konsisten untuk mengatasi permasalahan premanisme di Ibu Kota, memberikan rasa aman kepada masyarakat dalam beraktivitas sehari-hari.
Aksi pemerasan semacam ini menunjukkan betapa rentannya masyarakat ketika berhadapan dengan individu-individu yang memanfaatkan posisi mereka untuk mendapatkan keuntungan dengan cara yang melanggar hukum. Sangat penting untuk menegakkan penegakan hukum yang adil dan efisien sehingga masyarakat merasa terlindungi dan mendapatkan haknya tanpa adanya intimidasi.