Pada suatu kesempatan di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Hussein Ahmad, kuasa hukum para Pemohon, membuat pernyataan tegas mengenai revisi Undang-Undang TNI yang sedang dalam pembahasan. Menurutnya, langkah tersebut dinyatakan ilegal karena tidak tercantum dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas untuk tahun 2025. Pernyataan ini diungkapkan saat sidang pendahuluan dalam Perkara Nomor 81/PUU-XXIII/2025, dan menimbulkan berbagai reaksi serta perhatian dari masyarakat serta pihak-pihak berwenang.
Para Pemohon menegaskan bahwa revisi undang-undang yang diusulkan tidak hanya tidak terdaftar sebagai prioritas DPR RI, tetapi juga tidak mendapatkan pengakuan sebagai RUU prioritas dari pemerintah, bahkan hingga periode 2029. Situasi ini tentu menimbulkan pertanyaan mengenai transparansi dan proses legislasi yang berlaku di negara ini.
Tidak hanya itu, isu yang diangkat oleh para Pemohon juga menyoroti pentingnya persyaratan tertentu untuk menjadikan suatu RUU sebagai carry over. Dalam konteks ini, ada kesepakatan yang diperlukan antara DPR, presiden, dan/atau Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk memasukkan RUU kembali dalam daftar Prolegnas jangka menengah maupun prioritas tahunan. Hal ini sudah seharusnya dipatuhi dalam setiap proses legislasi yang ingin dilakukan.
Lebih jauh lagi, para Pemohon menunjukkan bahwa RUU TNI tidak masuk dalam Keputusan DPR terkait daftar 12 RUU instanceof carry over. Ini memperkuat argumen mereka bahwa revisi UU TNI seharusnya tidak dipertimbangkan dalam Prolegnas 2025 maupun 2025-2029. Dengan demikian, sangat jelas bahwa ada lacuna dalam proses legislasi yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan mengganggu tatanan pemerintahan yang baik.
Di sisi lain, isu ini juga mencerminkan sebuah potret dalam pengelolaan legislasi di Indonesia. Apa yang seharusnya menjadi perhatian utama dalam proses ini adalah bagaimana kepentingan masyarakat dapat diakomodasi secara transparan dan akuntabel. Proses legislasi yang melibatkan revisi undang-undang, terutama yang bersangkutan dengan isu-isu penting seperti TNI dan keamanan negara, perlu dilakukan dengan tingkat integritas yang tinggi dan melibatkan banyak pihak.
Semakin banyak suara yang pro dan kontra mengenai revisi UU TNI, semakin jelas bahwa masyarakat tidak tinggal diam atas apa yang dianggap melanggar ketentuan yang ada. Ada keinginan kuat dari banyak kalangan agar proses hukum dan legislasi dijalankan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang sesungguhnya, di mana semua pihak, termasuk masyarakat, mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berkaitan langsung dengan kepentingan umum.
Dengan demikian, penting bagi para pemangku kepentingan untuk memperhatikan kritik dan masukan dari masyarakat. Setiap langkah yang diambil dalam revisi undang-undang semacam ini tidak hanya akan mempengaruhi struktur hukum dan keamanan negara, tetapi juga mencerminkan bagaimana negara menjalankan prinsip-prinsip demokrasi dan mengakomodasi suara rakyat.
Kita semua berharap, ke depannya, proses legislasi dapat berjalan lebih transparan dan akuntabel, sehingga setiap keputusan yang diambil dapat membawa dampak positif bagi bangsa ini. Seiring dengan berjalannya waktu, diharapkan kehadiran masyarakat dalam setiap proses legislasi menjadi semakin diperhatikan, sehingga relevansi dan kelayakan undang-undang dapat terjaga. Ini adalah harapan bersama agar Indonesia semakin baik dalam menjalankan tata kelola negara yang baik.