Jakarta Memasuki awal 2025, pasar saham Indonesia mengalami berbagai tantangan yang cukup menonjol. Ketidakpastian yang melanda ekonomi global akibat perang tarif, serta penurunan daya beli domestik, menjadi faktor utama yang menekan indeks saham. Di tengah kondisi ini, pasar tampak belum menemukan arah yang jelas meskipun sentimen positif mulai terlihat sejak awal Mei.
Freddy Tedja, Kepala Spesialis Investasi di salah satu manajemen aset terkemuka, menyebutkan bahwa meskipun pemangkasan suku bunga oleh Bank Indonesia diharapkan membawa dampak positif, pengaruhnya terhadap pasar saham bersifat jangka menengah. Investor tampaknya masih mencari sinyal tambahan, berupa pelaksanaan nyata dari kebijakan pemerintah, yang dapat meningkatkan daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan konsumsi domestik.
Sementara itu, pasar obligasi Indonesia justru menunjukkan performa yang menarik perhatian. Dengan stabilnya nilai tukar Rupiah, prospek suku bunga yang cenderung menurun, dan rating kredit yang solid—BBB dengan outlook stabil—investor asing tertarik untuk kembali berinvestasi. Hingga awal Mei, arus modal asing yang masuk ke pasar obligasi mencapai USD 1,26 miliar, berbanding terbalik dengan arus keluar sebesar USD 2,73 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
Freddy menambahkan, “Pasar obligasi merespons dengan cepat terhadap sentimen penurunan suku bunga, sedangkan pasar saham masih memerlukan dorongan dari sektor riil.” Dengan kondisi ini, terlihat jelas pergeseran minat investor yang lebih memfokuskan perhatian pada instrumen obligasi.
Menjadi Alternatif: MSCI Asia dan Penurunan S&P500
Ketika pasar saham AS terjerat kekhawatiran akan resesi, pasar Asia justru menunjukkan daya tahan yang mengesankan. Indeks MSCI Asia Pacific meningkat 2,04% hingga akhir April, berlawanan dengan S&P500 yang menyusut sebesar 5,45%. Freddy melihat ini sebagai pertanda bahwa investor mulai melirik Asia sebagai alternatif baru, menyusul meredanya dominasi ekonomi Amerika Serikat.
Salah satu pendorong utama kebangkitan di pasar Asia adalah sektor teknologi, yang saat ini sangat terfokus pada pengembangan kecerdasan buatan (AI). Daya saing kawasan ini di sektor teknologi dinilai cukup tinggi, menjadikannya menarik dalam situasi ketidakpastian global. Namun, Indonesia tampaknya belum sepenuhnya mendapat manfaat dari momentum positif ini.
Freddy berpendapat bahwa performa pasar domestik masih terhambat oleh lemahnya daya beli. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) tercatat menurun ke angka 121,1 pada Maret 2025, dibandingkan dengan 126,4 pada bulan sebelumnya. Pertumbuhan penjualan ritel juga menunjukkan penurunan yang signifikan, dari 5,6% di kuartal pertama 2024 menjadi hanya 1% di kuartal pertama 2025.
Hal ini menandakan bahwa meskipun pasar global mengalami tren positif, tantangan yang dihadapi oleh perekonomian domestik harus segera diatasi agar Indonesia dapat berpartisipasi dalam pertumbuhan yang lebih stabil dan berkelanjutan. Seiring berjalannya waktu, diperlukan strategi yang efektif untuk mengembalikan kepercayaan konsumen dan meningkatkan daya beli masyarakat agar pasar saham dan obligasi Indonesia dapat berfungsi secara optimal.